Sejarah 4 Batik Indonesia Yang Terkenal

klinikabar.com, Sejarah Kain Batik Indonesia Dan Namanya - Seribu kisah sejarah dalam selembar kain batik Indonesia. Batik, tidak hanya melekat di tubuh kita sebagai busana yang cantik. Namun, di dalam batik melekat begitu banyak kisah - dari yang bernuansa murung, perjuangan, kegembiraan, kesulitan, lengkap layaknya perjalanan suatu bangsa yang tertuang dalam sejarah kain batik Indonesia.

Sejarah Kain Batik Indonesia


Gambar Sejarah 4 Batik Indonesia Yang Terkenal


Lihat saja motif yang terdapat di kain batik Tiga Negeri. Pada salah satu kain batik kuno itu dituangkan tidak hanya tentang satu bangsa, tapi sampai tiga: Tiongkok, Belanda, dan Jawa. Atau amati batik yang juga termasuk batik kuno, batik Jawa Hokokai. Dari namanya saja sudah kental dengan pengaruh masa kependudukan Jepang selama di Indonesia.

Sementara batik Mega Mendung yang konon sudah eksis sejak abad ke-16 di Cirebon, mengandung nilai-nilai kesabaran yang mulia. Dan, tahukah, ternyata batik Buketan bukan hanya berasal dari kata (bouqet) yang berarti rangkaian bunga dalam bahasa Belanda dan Prancis. Batik yang berkembang di kawasan pesisir Jawa ini tidak lepas dari efek perang Diponegoro 1825-1830.

Rasanya, tidak ada kain bermotif untuk busana di dunia ini yang filosofinya seperti filosofi kain batik. Bahkan saking rumit pembuatannya, ada yang proses pengerjaannya memakan waktu sampai 2 tahun lamanya! Karenanya, wajar batik memang tidak hanya sekedar kain bermotif, tapi juga sebagai salah satu mahakarya manusia Indonesia yang berbudaya tinggi. Agar kita semakin cinta dengan batik, yuk kita kenali beberapa batik legendaris berikut ini. 

Sejarah 4 Batik Indonesia Yang Terkenal

1. Sejarah Kain Batik Tiga Negeri

Keberadaan kain batik Tiga Negeri sudah ada sejak tahun 1907, dan batik ini dibuat oleh keluarga Tjoa. "Pencetusnya Nyonya Tjoa Giok Tjiam, seorang peranakan (Tionghoa) yang tinggal di Solo. Tjoa Giok Tjiam memiliki ide luar biasa untuk membuat kain batik yang berbeda-beda warnanya, bergantung dengan letak geografis. Solo terkenal dengan sogan atau cokelat, Pekalongan warna biru indigo, Lasem terkenal dengan warna merah.

Untuk menuangkan nuansa Tionghoa, mineral Lasem dipilih olehnya karena hanya Lasem lah mineral warna merah begitu mirip dengan darah ayam. Pekalongan mineralnya kental dengan warna biru dari tanaman Indigo karena berada di daerah pesisir, sementara mineral Solo berwarna cokelat.

Tidak hanya dari warna, motif batik Tiga Negeri pun memiliki tiga perpaduan harmonis dari Tiongkok, Belanda, dan Jawa. Kawasan Lasem saat itu dihuni oleh warga etnis Tionghoa, sehingga motifnya pun melambangkan negeri tirai bambu yakni motif burung. Sedangkan, motif biru pada bunga tersebut merupakan bentuk representasi Belanda. Dan gambar isen-isen yang biasa ditemukan di batik Jawa seperti Parang.

Batik pun tidak semata-mata langsung jadi ketika diproses. Saat itu, jika sudah dibuat di satu lokasi, batik tetap harus dicek kembali di Solo. Jika warna dan motifnya kurang, akan dikembalikan lagi di tempat pembuatannya. Detail batik juga sangat rumit karena harus mirip dengan motif dari beragam daerah tersebut.

Melihat kerumitan proses pembuatannya, maka tidak mengherankan jika kain batik Tiga Nagari memiliki harga jual yang sangat tinggi. Selain itu, zaman Belanda juga belum memiliki transportasi memadai sehingga pembuatannya bahkan bisa menghabiskan waktu hingga dua tahun. Meski begitu, Tjoa Giok Tjiam menurunkan tradisi membatik Tiga Negeri ini kepada anak-anaknya. Hingga di tahun 1940-an, batik tersebut terkenal dengan sebutan batik Tjoa karena dibuat oleh keluarga Tjoa.

Jika dilihat, batik asli tulisan keluarga Tjoa bisa dibedakan dari ujung kain yang memuat tanda nama Tjoa. Jika menemukan kain dengan tanda tersebut, bisa dipastikan kain tersebut mahal harganya. Begitu banyak sejarah yang terpancar dari motif kain batik Tiga Negeri, sehingga kini para desainer etnik pun turut melestarikan kain tersebut. Ragam kain batik ini biasa dijadikan selendang atau rok untuk pasangan kebaya.

2. Sejarah Kain Batik Jawa Hokokai

Masa akhir era kependudukan Jepang adalah saat yang sulit bagi para pedagang batik di area Pekalongan. Orang-orang Jepang suka menjadikan kain batik sebagai hadiah atas jasa kesetiaan para pribumi di masa tersebut. Mereka pun menjadikan Pekalongan sebagai lokasi pembuatan batik. Apalagi karena kualitas kain di daerah ini terkenal lembut. Namun, tingginya permintaan terhadap batik membuat bahan pokok kain menjadi sulit di dapat.

Kondisi keterbatasan bahan baku inilah yang memotivasi para pengusaha di kawasan Pekalongan untuk membuat sebuah kain batik yang dikenal sebagai batik Jawa Hokokai. Nama Jawa Hokokai sendiri diambil dari nama sebuah lembaga Jepang yang memayungi Himpunan Pengabdi masyarakat. Kain batik Jawa Hokokai itu dibuat pada masa kependudukan Jepang, dimana bahan batik sangat mahal dan sangat langka, sehingga kain yang ada dioptimalkan.

Maka, tidak heran, satu kain Jawa Hokokai memiliki kepadatan motif yang ditulis dengan latar batik Keraton yaitu Parang dan Kawung. Beragam bunga di batik dengan indah dengan warna-warni alami. Dalam satu kain ada beragam motif bunga khas negeri Jepang di batik dengan padat. Misalnya saja, ada motif Sakura, Krisan, Dahlia, dan Anggrek. Bunga-bunga yang mudah ditemukan di Jepang. Motifnya dibentuk dengan teknik lung-lungan atau dibuat berulang-ulang.

Sebagai tanda batik Jawa Hokokai, pada sisi pinggirnya ada pola Susomoyo yang dilambangkan dengan kupu-kupu atau bunga hias. Pola ini disusun rapi pada pinggiran bawah sehingga membentuk sebuah pigura. Teknik tersebut mengadaptasi proses pembuatan kain Kimono dari Jepang.

Kemudian, Motif semakin berkembang, ada yang berbentuk burung merak yang melambangkan keagungan. Warna-warna bumi seperti cokelat, hijau, hingga merah muda menjadi hiasan terbaik di kain ini. Meski begitu, sejarah kain batik Jawa Hokokai yang begitu pelik membuatnya sangat sulit ditemukan hingga saat ini. kain itu dibuat periode sangat singkat, jadi kalau ada yang mengaku kain miliknya adalah Jawa Hokokai harus diteliti terlebih dahulu.

Setelah Jepang menyerah, Jawa Hokokai banyak dikenal sebagai Jawa Baru. Motif Jawa Baru sangat mirip dengan Jawa Hokokai motifnya ada cherry blossom. Kini, motif tersebut semakin berkembang dengan unsur motif Parang, Tirtareja dan Jlamprang sebagai latar cantik di atas kain tersebut.

3.Sejarah Batik Mega Mendung 

Kedatangan China yang masuk di daerah pesisir Cirebon membawa pengaruh terhadap munculnya batik Mega Mendung, dibuktikan oleh catatan sejarah saat Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon pada abad ke-16. Ia menikahi Ratu Ong Tien yang berasal dari Cina. Para pendatang dari Cina membawa beberapa benda seni seperti keramik, piring dan kain yang berhiaskan bentuk awan.

Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Ratu Ong Tien menjadi gerbang masuknya budaya dan tradisi Cina ke Keraton Cirebon. Budaya dan tradisi Cina tertuang dalam motif batik yang dibuat para pembatik keraton, namun tetap dengan sentuhan khas Cirebon. Bila diperhatikan, terdapat perbedaan motif batik Mega Mendung dari Cina dan dari Cirebon. Motif Mega Mendung dari Cin berbentuk bulatan atau lingkaran pada garis awan, sementara dari Cirebon, garis awan cenderung berbentuk lonjong, lancip, dan segitiga.

Dalam filosofinya, Batik Mega Mendung menyimpan pesan dan makna mendalam. Pada batik Cirebon dengan pola awan ini terdapat pesan nilai kesabaran. Uniknya pesan ini bisa dimaknai bagi pembuatnya atau pun penggunanya. Proses pembuatan gradasi tujuh warna pada batik Mega Mendung ini memang tidaklah mudah.

Kata "Mega" dalam nama Mega Mendung memiliki arti awan, sementara "Mendung" atau langit redup yang biasanya muncul saat akan hujan. Gradasi tujuh warna biru pada motif Mega Mendung sesuai dengan tujuh lapisan langit. Untuk menciptakan gradasi tujuh warna ini harus dilakukan pencelupan tujuh kali juga. Untuk mendapatkan warna yang semakin biru yang semakin muda perlu ketelitian. Dan pada zaman dahulu orang membatik sebagai dedikasi, lamanya membatik mungkin bias dua tahun lamanya.

4. Sejarah Batik Buketan

Gaya batik pesisir lainnya dikenal dengan batik buketan. Ia tidak hanya ada di Pekalongan, tapi juga di Garut, Tegal, Sidoarjo. Pada perkembangannya, dalam motif batik Buketan ini juga terkandung pengaruh Belanda yang saat itu masuk ke Indonesia melalui daerah pesisir. Setelah pecah perang Pangeran Diponogoro 1825-1830, pengikut-pengikut Pangeran Diponogoro kocar-kacir. Maka penyebar pula batik dari Keraton hingga ke pesisir.

Buketan berasal dari kata "bouqet" yang berarti rangkaian bunga dalam bahasa Belanda dan Prancis. Kita bisa segera mengenali batik Buketan dari gambar bunga, burung, dan tumbuhan yang bersalur-salur. Tanaman yang tergambar pada batik buketan kebanyakan merupakan tanaman atau bunga yang tumbuh di Belanda.

Seiring berjalannya waktu, motif batik Buketan semakin banyak berkembang di daerah pesisir dan muncul warna-warna cerah. Bahkan motifnya juga berkembang dipengaruhi keberadaan etnis China yang dulu berdagang di daerah pesisir. Oleh karena itu batik buketan dimiliki oleh beberapa daerah seperti Pekalongan, Garut, Tegal, dan Sidoarjo. Meskipun ada dibawah pengaruh yang sama, namun setiap daerah memiliki kekhasan yang berbeda-beda.

Penutup

Kita dapat melihat dinamika seniman batik melalui berbagai motif kain batik,mulai dari lokasi batik dibuat, bagaimana kain batik di pakai,dieksplorasi, dan divisualisasikan untuk mengomunikasikan tatanan sosial. Pada akhirnya, dari pembuatan batik akan terlihat bagaimana identitas sosial di wilayah batik itu dibuat lebih kuat. Itulah pembahasan tentang sejarah kain batik Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel