Rabbit-Proof Fence Kisah Nyata Molly Craig Dari Aborigin

Klinikabar.com, Rabbit-Proof Fence Kisah Nyata Molly Craig Dari Aborigin - Rabbit-Proof Fence adalah kisah nyata keberanian Molly Craig dari Jigalong, Wilayah Suku Aborigin Australia, Rabbit-Proof Fence (Pagar Anti Kelinci Hutan) Produksi Miramax, yang diputar di Amerika Serikat akhir tahun 2002. film ini mengungkap sisi gelap dan babak rasisme dalam sejarah Australia, serta mengisahkan suatu kebijakan yang melambangkan upaya penculikan ribuan anak. Mereka yang berkulit putih diadopsi orang-orang keturunan Italia atau Malta; lainnya dilatih sebagai pembantu di rumah tangga orang kulit putih.

Kisah Molly Craig Wanita Aborigin


Gambar Rabbit-Proof Fence, Kisah Nyata Molly Craig Dari Aborigin


Kisah penculikan ribuan anak Aborigin ini diangkat ke layar lebar oleh Sutradara Australia Phillip Noyce (pernah juga menjadi sutradara film Patriot Games dan The Bone Collector) dan menampilkan bintang seorang gadis Aborigin, Everlyn Sampi, yang juga merupakan anak dari salah satu generasi yang diculik.

Molly Craig mengatakan bahwa orang kulit putih telah menculik mereka dari rumah, "mereka tidak pernah menjelaskan alasannya." Polisi begitu saja mengambil Molly, saudara tirinya Daisy yang baru berusia 8 tahun kala itu, dan sepupu mereka, Gracie, 10 tahun. Mereka bertiga dibawa dengan naik mobil, kereta api, dan kapal uap. Di tengah kegelapan malam, tibalah mereka di penampungan Moore River Native Settlement. Disana mereka dilatih untuk menjadi pembantu.

Molly Craig Dari Aborigin Sangat Akrab Terhadap Anak-Anak

Anak-anak perempuan ditempatkan dalam asrama yang bau ompol anak-anak tidak beribu, yang sehari-hari makan bubur dan lemak biri-biri yang dioleskan pada roti basi. Mereka tidur dengan selimut kasar; sprei baru hanya dipasang saat ada pengawas datang.

"Mereka mengatakan bahwa ibu kami tidakmencintai kami lagi," kata Molly. "Anak yang asih kecil mungkin bisa dibohongi. Tapi saya kenal betul ibu saya." Dan Molly pun tahu bahwa dia harus kembali kepada ibunya. Ayah molly, Thomas Craig, seorang berkebangsaan Inggris yang bekerja sebagai pengawas pagar anti kelinci hutan. Dia telah cukup lama tinggal di daerah itu dan kerap mendongeng kepada anak-anak tentang pagar dekat rumah mereka yang begitu panjang, membentang dari laut ke laut. Pembatas itu dibangun untuk mencegah serbuan kelinci ke lahan pertanian.

Molly sadar, jika saja dia dapat menemukan pagar itu, berarti dia sudah dekat dengan rumah. Dia tidak menggubris cerita anak-anak yang lebih besar bahwa tidak pernah ada yang berhasil melarikan diri dari penampungan. Kata mereka, seorang pengawas berkulit hitam akan mencambuk mereka sebelum menggiring mereka kembali ke penampungan.

Sosok Molly Craig

Molly Craig bertelanjang kaki, tidak sekolah, dan miskin. Tapi Molly Craig bahagia tumbu besar di Jigalong, wilayah suku Aborigin Australia yang terletak di tengah padang pasir batu merah yang telah ditempati oleh nenek moyangnya selama 50 ribu tahun. Molly Craig belajar banyak dari para ibu, tante, dan nenek moyang di desanya. Selayaknya anak alam, Molly Craig pun berburu iguana dan kelinci hutan bersama saudara-saudaranya; dia punya insting seperti kompas, untuk menentukan arah, berdasarkan posisi matahari.

Namun Dunia Molly yang nyaman dan damai jadi hancur dengan datangnya petugas berkulit putih di suatu siang di bulan Juli 1931. Seperti gadis-gadis suku Aborigin sebayanya kala itu, dia diculik berdasarkan peraturan pemerintah. Dia masih bisa merasakan penderitaan keluarganya meski bayangan mereka telah lenyap dari pandangan di balik kaca belakang mobil polisi yang membawanya.

Perjalanan Molly meninggalkan Jigalong sepertinya juga ditangisi oleh padang pasir yang dilaluinya. Ibu, tante, dan para saudara sepupunya terus berjaga sambil berdoa. Mereka melukai diri sendiri dengan batu sambil menangisi kesedihan yang menimpa. Mereka tahu bahwa anak-anak mereka yang lahir dari ibu berkulit gelap dan ayah yang berkulit putih seperti Molly bisa sewaktu-waktu diambil paksa oleh pemerintah. 

Program asimilasi yang dipaksakan sejak awal abad ke-20 hingga akhir tahun '60-an itu dirancang untuk mendidik anak campuran sebagai anak kulit putih. Para orang dewasa Aborigin juga tahu, anak-anak yang telah diambil tidak akan pernah kembali.

Tapi Molly tidak tahu itu, Semangatnya untuk pulang kerumah telah membawanya melintasi jarak sejauh 2.400 kilometer ke selatan, melintasi gurun pasir yang terbentang di benua selatan tersebut. Dengan tekad yang bulat untuk pulang, dia pun menyusuri kembali rute yang dilalui dari kampung halamannya ke tempat penampungan. Perjalanan panjang seperti tiada habisnya itu akhirnya membawa pulang.

Hari Kedua Molly Craig Di Moore River

Badai disertai petir menyambar tempat penampungan. "Lari" teriak molly kepada Daisy dan Gracie. Dia tahu pengawas itu tidak akan bisa melacak jejak kaki mereka yang telah di guyur hujan. Jadi, tatkala anak-anak lain sedang mengikuti doa pagi, ketiga perempuan itu kabur melalui semak-semak disekitar penampungan. 

Craig dan saudaranya lari kearah sungai terdekat, dan berjalan kaki sejauh 24 kilometer di dalam air danau yang dangkal dan membeku. Di malam hari Molly mengajak mereka untuk menggali lubang kelinci dan meringkuk di dalamnya. Berkat instingnya, Molly tahu arah ke utara. dalam waktu seminggu mereka telah berjalan kaki tanpa terlihat sejauh 161 kilometer. Mereka menghindari jalan raya dan jalur kereta api, meski rumput ilalang yang tajam melukai kaki mereka. 

Saat pagi-pagi buta, ketika Molly mendengar langkah kaki di dekat mereka, dia mendorong saudara-saudaranya masuk ke dalam semak berduri lalu menyuruh mereka merunduk. Seorang pria lewat begitu dekatnya dengan mereka hingga getar tiap langkahnya dapat terasa. Pada malam hari Molly menyalakan api di dalam lubang yang digalinya, lalu menutupnya kembali dengan pasir kering sebelum mereka melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Dia dan Gracie yang dapat lari lebih cepat dari pada kelinci hutan memburu hutan itu. Mereka memasaknya tanpa mengulitinya terlebih dahulu, membersihkan isi perut kelinci dengan ranting dan melahapnya dalam perjalanan.

Mereka juga meminta makanan kepada penduduk perkampungan yang mereka lalui. Dengan ramah pemilik rumah kulit putih itu memberi mereka roti dan teh susu manis, kemudian menelepon polisi. Kisah perjalanan ketiga bersaudara tersebar dari mulut ke mulut di kalangan stockman (peternak) - sebutan untuk cowboy Australia - dan mengundang simpati penduduk yang tinggal di sekeliling pagar. "Bos di Jigalong yang mengatakan kepada orang-orang bahwa ada anak-anak melarikan diri dari tempat penampungan," kata Molly,menjelaskan bagaimana ibunya mengetahui sang anak sedang dalam perjalanan pulang.

Ketika Molly Hampir Sampai Rumah

"Kita hampir sampai! Rumah kita sudah dekat!" teriak Molly saat mereka sampai di pagar yang sangat mereka sampai pagar yang sangat mereka kenal itu. Dia tidak sadar bahwa perjalanan yang mereka tempuh baru setengah dari perjalanan itu. Molly harus menggendong Daisy yang merasa nyeri akibat luka bernanah di kakinya. Gracie yang menyeret salah satu kakinya akibat kesakitan, mulai sebal kepada sepupunya itu.

Namun, keberuntungan masih bersama mereka. Sang pengawas tampak tidak berusaha maksimal untuk menangkap mereka. Dia mungkin mengerti mengapa gadis-gadis cilik ini ingin sekali pulang kerumah. Ketika mereka semakin tidak mungkin menghabiskan waktu untuk beristirahat lama-lama di waktu malam, Gracie yang telah kelelahan mengatakan pada Molly bahwa ia tidak ingin mati konyol di tengah padang pasir. Lalu dia berbalik arah, seorang diri, menuju depo kereta api.

Molly dan Daisy meneruskan perjalanan mereka dengan susah payah memasuki daerah padang pasir Australia yang paling kejam tu. Mereka tidak lagi mengkhawatirkan kehadiran orang kulit putih disana. Keduanya tahu orang kulit putih tidak akan mampu bertahan hidup disitu. Justru mereka kini mengkhawatirkan hidup mereka sendiri. Makanan menjadi langka. Dan sinar matahari begitu panas serta terik. 

Sebagian orang percaya bahwa arwah leluhur orang Aborigin yang menyelamatkan mereka pada akhirnya. Saat orang-orang sedesa mengetahui gadis-gadis kecil mereka sedang berusaha pulang ke rumah, para wanita Aborigin di Jigalong mulai meratap dan berdoa, memohon kepada arwah-arwah para leluhur, yang dideskripsikan seperti hantu dalam mimpi, untuk melindungi anak-anak mereka. Para ibu bepergian jauh ke padang pasir luas sambil tetap berteriak-teriak.

Mereka percaya suara mereka dapat didengar oleh putri-putri mereka, setidaknya terdengar dalam hati. Sampai akhirnya, tanpa diduga sebelumnya-bahkan cenderung menakjubkan-gadis-gadis cilik itu berkumpul kembali dengan ibu mereka di tanah yang tandus. Ketika si ibu merangkulnya, Molly tetap merasa tidak terhibur. "Aku kehilangan Gracie, " tangisnya, mengira sepupunya telah meninggal. Sesungguhnya, Gracie tertangkap dan dibawa kembali ke Moore River. Gracie tidak pernah kembali ke Jigalong selamanya.

Molly Craig Bersumpah Untuk Tanah Aborigin

Molly crai bersumpah dia tidak akan meninggalkan tanah leluhurnya lagi. Tapi sejarah kembali terulang sembilan tahun kemudian. Tahun 1940, dia kembali di bawa paksa ke tempat penampungan, kali ini dia bersama kedua orang putrinya, Annabelle yang baru berusia 18 bulan dan Doris, 4 tahun. Molly kembali melarikan diri, hanya bersama Annabelle. Meski berat hati, Molly terpaksa meninggalkan Doris karena dirinya tidak sanggup menggendong dua anak sekaligus menempuh perjalanan 2.400 kilometer. 

Tiga tahun kemudian, Annabelle dibawa kembali oleh polisi kulit putih ke sebuah rumah penampungan. Itulah terakhir Molly melihat putri bungsunya.

Doris, saat berusia 18 tahun akhirnya dibebaskan dari tempat penampungan. Mulanya dia bekerja sebagai tenaga asisten di sebuah rumah sakit, lalu dilatih menjadi seorang wartawan. Tergerak oleh kemauannya sendiri, dia mulai mencari kepastian untuk menyelidiki asal-usulnya, sebuah semangat yang diwarisi dari sang ibu hampir tidak diingatnya lagi. Pencarian itu lantas membawa ke Jigalong. Saat Doris mengungkapkan kekecewaan karena ditelantarkan oleh ibunya, Molly dengan tenang menjawab "Bukan aku yang menyerahkan kamu. Pemerintah yang memisahkan kita."

Doris membukukan kisah mengharukan itu dalam bukunya, Follow the Rabbit-Proof Fence (Menyusuri Pagar Anti Kelinci Hutan), yang menginspirasi Phillips Noyce untuk membuat filmnya, "Saya tidak bisa berdiam diri setelah mengetahui kepahitan hidup anak-anak itu,". Dengan mengangkat kisah Molly ini kepada dunia, dia berharap dapat berbagi cerita tentang kepedihan akibat rasisme dan kekuatan hubungan sebuah keluarga. Molly menyaksikan film itu dibawah sinar bintang di gurun pasir Jigalong. Noyce sengaja menyiapkan sebuah layar disana untuk pemutaran perdana film tersebut. 

Penutup

Molly berharap kisahnya ini dapat menyentuh hati lebih banyak orang. Belum lama ini, Doris berusaha melacak keberadaan adiknya, Annabelle, yang kini diperkirakan berusia 60 tahun-an. Namun sebagai seorang wanita yang telah menghabiskan hidupnya sebagai bagian dari ras yang berbeda, Annabele tampaknya tidak punya keinginan untuk merangkul kembali warisan Aborigin dan keluarganya. Itulah Kisah Nyata Molly Craig Perempuan Aborigin yang pantang menyerah dalam Rabbit-Proof Fence.

Baca Juga Bang Idin Jawara Kali Pesanggrahan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel